
*Loa Murib
Penetapan Universitas Cenderawasih (Uncen) sebagai Regional Centre of Excellence (RCOE) untuk program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di Tanah Papua merupakan langkah strategisyang patut diapresiasi. Langkah ini menandai keseriusan pemerintah dalam menempatkan isugizi anak sebagai prioritas utama dalam pembangunan manusia, terutama di wilayah timurIndonesia yang masih menghadapi tantangan besar dalam akses dan pemerataan gizi. Program MBG yang selama ini digulirkan secara nasional, membutuhkan pusat koordinasi dan inovasidaerah agar implementasinya berjalan lebih efektif, adaptif terhadap kondisi lokal, danberkelanjutan.
Pemerintah Provinsi Papua menyambut baik penetapan Uncen sebagai RCOE. Keberadaanlembaga ini diyakini mampu menjadi motor penggerak penguatan kapasitas lokal, baik dalambentuk riset, pengembangan inovasi, maupun pelatihan tenaga lapangan seperti tenaga kesehatan, guru, hingga kader masyarakat. Selain sebagai pusat pembelajaran, RCOE diharapkan dapatberperan sebagai ruang kolaborasi lintas sektor, yang memadukan pendekatan akademis, kebijakan publik, serta kearifan lokal dalam mewujudkan ketahanan gizi di Papua.
Pelaksana Tugas Staf Ahli Gubernur Bidang Pengembangan Masyarakat dan Budaya, Matias Mano, mengungkapkan bahwa Pemprov Papua berkomitmen penuh untuk mendukungkeberlanjutan program MBG. Komitmen ini tidak sekadar administratif, tetapi mencakupdorongan terhadap pelibatan multipihak dalam implementasi program, serta peningkatankapasitas sumber daya manusia di tingkat akar rumput. Ia menekankan bahwa program MBG bukan semata tentang distribusi makanan, tetapi merupakan investasi sosial jangka panjang yang menyasar kelompok paling rentan: anak-anak balita, ibu hamil, serta pelajar di wilayah terpencil.
Dalam konteks Papua yang memiliki tantangan geografis luar biasa, pemerataan akses terhadapmakanan bergizi menjadi sangat krusial. Ketika anak-anak tidak memperoleh asupan gizi yang cukup dan aman, maka risiko stunting, keterlambatan perkembangan kognitif, serta rendahnyaproduktivitas di masa depan akan terus membayangi. Oleh karena itu, MBG harus dimaknaisebagai bentuk keberpihakan negara terhadap keadilan sosial. Tidak boleh ada perbedaanperlakuan antara anak-anak di kota besar dan mereka yang hidup di kampung-kampung pelosok.
Dalam kerangka keadilan tersebut, pentingnya penguatan infrastruktur distribusi program MBG menjadi hal yang mendesak. Salah satu pendekatan inovatif yang kini mulai diusulkan adalahpembentukan dapur satelit di wilayah-wilayah terpencil. Gagasan ini disampaikan oleh Pembina Yayasan Kencana Papua Nusantara, Petrus Thokiman, yang menyuarakan harapan agar MBG benar-benar menjangkau anak-anak di daerah tertinggal, khususnya di Kabupaten Fakfak, Papua Barat.
Menurut Petrus, hingga kini pelaksanaan MBG masih terfokus di wilayah perkotaan. Anak-anakdi kampung-kampung pelosok belum sepenuhnya merasakan manfaat program ini. Untukmenjembatani kesenjangan itu, pendirian dapur satelit MBG menjadi solusi nyata. Selainmenjamin distribusi makanan sehat secara lebih cepat dan efisien, konsep ini jugamemungkinkan adanya pemberdayaan masyarakat lokal. Petrus menekankan bahwa pangan lokalseperti sagu, ubi, keladi, dan sayur-mayur dari kebun masyarakat seharusnya bisa diintegrasikandalam menu MBG. Hal ini akan mendorong ketahanan pangan sekaligus memberdayakanekonomi lokal.
Lebih jauh, dapur satelit juga sejalan dengan semangat desentralisasi pelayanan publik yang adaptif terhadap karakteristik geografis Papua. Jika dibarengi dengan dukungan regulasi danpendanaan dari pemerintah pusat dan mitra pembangunan, dapur-dapur ini dapat dibangun di sejumlah titik strategis, terutama yang jauh dari akses jalan raya atau berada di daerah perbukitandan pesisir terpencil. Dengan demikian, anak-anak yang tinggal di lokasi-lokasi tersebut akanmendapat perlakuan yang setara, tidak terpinggirkan dari kebijakan nasional yang mestinyainklusif.
Penting untuk dipahami bahwa keberhasilan program MBG tidak hanya bergantung padaketersediaan makanan bergizi, melainkan juga pada tata kelola yang efisien dan partisipatif. Olehkarena itu, dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan—termasuk dari perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, sektor swasta, hingga pemerintah mitra seperti Australia, China, dan Jepang. Mereka selama ini telah berperan aktif dalam memperkuat sistem pangan dan giziyang lebih tangguh dan berkelanjutan di Papua.
Sebagai pusat keunggulan, Uncen dapat memainkan peran strategis dalam mengembangkanmodul pelatihan, riset intervensi gizi berbasis lokal, serta membangun sistem monitoring danevaluasi berbasis data. Ini penting untuk mengidentifikasi titik-titik rawan gizi, mengevaluasiefektivitas menu yang diberikan, hingga merancang intervensi lanjutan yang lebih tepat sasaran. Kampus sebagai pusat ilmu pengetahuan memiliki posisi ideal untuk mengintegrasikanpendekatan ilmiah dengan konteks sosial dan budaya masyarakat Papua.
Langkah-langkah ini pada akhirnya bertujuan pada satu hal: memastikan bahwa setiap anakPapua memiliki masa depan yang sehat, cerdas, dan produktif. Upaya pembangunan manusiatidak bisa dipisahkan dari pemenuhan kebutuhan dasar seperti gizi yang layak. Oleh karena itu, program MBG harus ditempatkan sebagai prioritas utama, bukan hanya sebagai program sosialtemporer, tetapi sebagai bagian dari strategi nasional dalam memperkuat fondasi generasi masa depan bangsa.
Membangun Papua tidak cukup hanya dengan membangun jalan dan jembatan. MembangunPapua adalah juga tentang membangun manusia-manusianya—dimulai dari piring makanmereka. Program MBG, bila dilaksanakan dengan serius, dapat menjadi jawaban atas tantanganmultidimensi di Papua: mulai dari kemiskinan, kesenjangan pendidikan, hingga rendahnyaindeks pembangunan manusia. Inilah saatnya untuk menyatukan langkah dan memperluascakupan program ini, agar tidak ada lagi anak bangsa yang tertinggal hanya karena letakgeografisnya.
*Penulis adalah Mahasiswa Papua di Surabaya