
Oleh: Marina Sudrajat *)
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI saat ini tengah membahas Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) sebagai bagian dari agenda reformasi sistem peradilan pidana. Pembaruan ini bertujuan menyesuaikan perangkat hukum acara pidana dengan perkembangan kebutuhan hukum, dinamika masyarakat, serta tuntutan perlindungan hak asasi manusia. Prosesnya dirancang agar berjalan terbuka dan inklusif, dengan melibatkan berbagai pihak untuk memastikan hasil akhir yang lebih relevan dan aplikatif.
Dalam proses legislasi ini, DPR melalui Komisi III secara konsisten membuka ruang partisipasi publik. Ketua DPR RI, Puan Maharani, menegaskan bahwa pembahasan RKUHAP dilaksanakan secara terbuka dan inklusif, melibatkan para pakar dan unsur masyarakat sipil. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak menjadikan revisi KUHAP sebagai proyek elitis yang tertutup, tetapi sebagai upaya kolektif yang memperhitungkan keberagaman pandangan demi melahirkan hukum acara pidana yang lebih adil dan kontekstual.
Proses revisi yang sedang berjalan telah memasuki tahap lanjutan setelah sebelumnya menyelesaikan pembahasan terhadap 1.676 daftar inventarisasi masalah (DIM). Saat ini, tahapan telah berada pada level Tim Perumus (Timus) dan Tim Sinkronisasi (Timsin), yang bertugas menyempurnakan naskah secara redaksional dan teknis. Meski bersifat teknis, tahapan ini tetap terbuka untuk publik dan dapat diakses secara daring melalui situs resmi DPR RI. Keterbukaan ini penting untuk menunjukkan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan tidak dijalankan dalam ruang kedap aspirasi, melainkan berada di bawah kontrol demokratis masyarakat luas.
Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman, menjelaskan bahwa masukan substansial dari masyarakat tetap dapat disampaikan meskipun pembahasan telah berada pada tahap Timus dan Timsin. Ia menegaskan bahwa mekanisme Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) masih tersedia, dan masyarakat tidak pernah ditolak jika mengajukan permohonan untuk berdialog secara resmi. Menurutnya, tidak ada satu pun institusi sipil yang ditolak untuk menyampaikan aspirasi, selama prosedurnya diikuti.
Lebih jauh, Habiburokhman menyampaikan bahwa proses penyempurnaan yang sedang berlangsung melibatkan banyak pihak, termasuk anggota DPR, tenaga ahli, Badan Keahlian DPR, dan tim teknis dari pemerintah. Kolaborasi lintas institusi ini memastikan bahwa revisi KUHAP tidak sekadar memperbaiki tata bahasa hukum, tetapi benar-benar menyentuh aspek-aspek krusial dalam penegakan hukum pidana. Bahkan, masyarakat dapat memantau langsung prosesnya melalui siaran langsung, yang sebelumnya belum pernah terjadi dalam proses legislasi Timus-Timsin.
Penting dicatat bahwa keterlibatan masyarakat sipil dalam pembahasan RKUHAP tidak hanya diakomodasi, tetapi juga difasilitasi secara sistematis. Anggota Panitia Kerja RKUHAP, Muhammad Nasir Djamil, menuturkan bahwa masyarakat hanya perlu mengirim surat permohonan untuk mengikuti RDPU. Komisi III bahkan membuka pintu seluas-luasnya bagi korban unfair trial untuk menceritakan pengalamannya langsung kepada pembentuk undang-undang. Ini mencerminkan paradigma baru dalam legislasi, yaitu hukum yang tidak hanya dibuat untuk rakyat, tetapi juga bersama rakyat.
Tentu saja tidak semua pihak sepakat dengan jalannya proses legislasi ini. Koalisi masyarakat sipil sempat menyampaikan kritik bahwa partisipasi yang berlangsung belum sepenuhnya bermakna. Namun, dalam sistem demokrasi yang sehat, perbedaan pandangan bukanlah hal yang melemahkan, justru menjadi bagian integral dari proses penyempurnaan regulasi. Di sinilah pentingnya sistem legislasi berlapis yang diterapkan DPR. Setiap tahapan menjadi filter untuk menyaring ketidaksempurnaan, sehingga pasal-pasal bermasalah dapat dikoreksi sebelum pengesahan di rapat paripurna.
Perlu disadari bahwa revisi terhadap KUHAP bukan hanya menjawab kebutuhan normatif, melainkan juga urgensi praktis. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 yang saat ini masih berlaku sudah berusia lebih dari empat dekade. Banyak aspek dalam hukum acara pidana saat ini belum mampu menjawab tantangan zaman seperti digitalisasi alat bukti, perlindungan saksi dan korban, serta penyelesaian perkara secara restoratif. Karena itu, mempercepat revisi dengan tetap menjaga kualitas dan partisipasi menjadi kebutuhan mendesak.
Pemerintah dan DPR juga memastikan bahwa setiap dokumen pembahasan RKUHAP dapat diakses oleh publik. Kepala Bagian Sekretariat Komisi III DPR RI, Ica, menjelaskan secara rinci langkah-langkah untuk mengakses draf dokumen melalui situs resmi DPR. Bahkan, tersedia fitur pencarian hingga smart assistant untuk memudahkan publik menelusuri perkembangan pembahasan. Transparansi ini merupakan langkah konkret menjawab kekhawatiran bahwa proses hukum tidak boleh lagi terkesan eksklusif.
Komitmen untuk melibatkan seluruh pihak dalam pembahasan RKUHAP adalah bagian dari transformasi besar dalam budaya legislasi nasional. Pemerintah tidak hanya menyiapkan perangkat hukum yang lebih modern, tetapi juga memperkuat legitimasi sosial dari setiap norma yang akan ditegakkan. Dengan melibatkan publik sejak tahap perumusan hingga pengesahan, kepercayaan masyarakat terhadap hukum dan lembaga penegak hukum akan tumbuh lebih kokoh.
Singkatnya, revisi KUHAP yang sedang berlangsung menjadi cerminan dari politik hukum yang tidak elitis, melainkan partisipatif dan progresif. Pemerintah dan DPR menunjukkan bahwa hukum tidak lahir dari menara gading, melainkan dari ruang dialog, dari suara publik yang didengar, dan dari kesadaran kolektif untuk memperkuat keadilan. Melalui keterbukaan, kolaborasi, dan keteguhan menyempurnakan regulasi, RKUHAP menjadi harapan baru bagi wajah penegakan hukum Indonesia yang lebih manusiawi dan adaptif.
*) Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik