Pemerintah Dorong Standardisasi Ketat untuk Cegah Beras Oplosan

Oleh: Dewi Sri Andini*

Pemerintah Indonesia mengambil langkah tegas dalam menanggapi maraknya kasus peredaran beras oplosan yang merugikan masyarakat. Kasus-kasus tersebut tidak hanya mencederai hak konsumen, tetapi juga mengganggu stabilitas distribusi pangan nasional serta kepercayaan publik terhadap produk kebutuhan pokok. Dalam merespons situasi ini, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Pangan bersama lembaga-lembaga terkait menggulirkan kebijakan baru yang bertujuan memperkuat pengawasan, mempercepat penyaluran beras bersubsidi, dan menerapkan sistem standardisasi tunggal secara nasional.

Salah satu terobosan utama yang diluncurkan adalah penghapusan klasifikasi beras medium dan premium. Keputusan ini lahir dari hasil evaluasi menyeluruh atas celah yang dimanfaatkan pelaku usaha nakal untuk melakukan praktik pengoplosan. Di lapangan, ditemukan beras yang diklaim sebagai premium ternyata berasal dari jenis dan kualitas yang sama dengan beras medium, namun dikemas dengan karung menarik untuk menaikkan harga secara tidak wajar. Ini menyebabkan kebingungan di kalangan konsumen dan membuka ruang bagi pelanggaran hukum.

Dengan hanya menerapkan dua kategori, yakni beras biasa dan beras khusus, pemerintah berharap sistem pengawasan dan distribusi akan menjadi lebih sederhana dan efisien. Beras biasa adalah beras produksi lokal yang menjadi bagian dari program subsidi pemerintah dan memiliki standar kualitas yang akan ditentukan secara seragam. Sementara itu, beras khusus seperti beras basmati, pandan wangi, ketan, dan japonica, akan dipasarkan dengan ketentuan izin serta sertifikasi resmi dari pemerintah, guna menjamin keaslian dan mutu produk.

Langkah penghapusan label premium dan medium menjadi bagian dari strategi nasional untuk menghilangkan praktik manipulasi harga dan kualitas. Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, menegaskan bahwa sistem lama telah membuka celah yang terlalu besar bagi kecurangan dan merugikan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah tidak akan memberi ruang lagi bagi pelabelan semu yang selama ini dimanfaatkan pihak tertentu untuk meraup keuntungan sepihak.

Baca juga  Kebijakan Migrasi Terpadu, Bukti Kepemimpinan Pemerintah di Dunia

Sebagai upaya nyata dalam menangkal penyebaran beras oplosan, pemerintah juga menginstruksikan Perum Bulog untuk mempercepat penyaluran beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP). Sebanyak 1,3 juta ton beras SPHP akan digelontorkan ke pasar hingga akhir Desember 2025. Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi, memastikan bahwa seluruh beras SPHP yang disalurkan tetap dijual dengan harga tetap Rp12.500 per kilogram. Penegakan harga ini dilakukan guna menjaga daya beli masyarakat dan mencegah spekulasi pasar oleh pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab.

Tidak hanya memperkuat sisi distribusi, pemerintah juga memperketat sistem pengawasan dan identifikasi produk di tingkat pengecer. Dalam hal ini, Perum Bulog melakukan inovasi dengan menggandeng koperasi milik institusi negara seperti TNI untuk menjadi mitra penjualan beras SPHP. Menurut Direktur Utama Perum Bulog, Ahmad Rizal Ramdhani, koperasi-koperasi TNI memiliki integritas tinggi dan dipercaya tidak akan terlibat dalam praktik pemalsuan atau pengoplosan. Program ini telah diuji coba di sejumlah satuan, seperti di Batalyon 328 Kostrad, dan terbukti efektif meningkatkan distribusi beras SPHP secara cepat dan tepat sasaran.

Selain itu, guna mencegah penyalahgunaan karung beras SPHP yang telah kosong, Bulog juga akan memperkenalkan sistem kontrol berbasis hologram dan identifikasi digital. Upaya ini dilakukan menyusul temuan beras oplosan di wilayah Riau, di mana oknum pelaku membeli karung SPHP bekas lalu mengisinya dengan beras murah untuk dijual kembali dengan harga tinggi. Sistem pengawasan baru ini diharapkan dapat menutup seluruh potensi celah yang memungkinkan terjadinya kecurangan.

Dalam kebijakan yang lebih luas, pemerintah akan menyertakan parameter teknis dalam standardisasi beras nasional, seperti kadar air maksimal 14% dan pengawasan kualitas gabah. Hal ini penting untuk memastikan beras yang dipasarkan tidak mudah rusak, dan tetap layak konsumsi hingga tiba di tangan konsumen. Standarisasi ini juga akan dituangkan dalam perubahan Peraturan Badan Pangan Nasional agar memiliki kekuatan hukum tetap dan mengikat bagi seluruh pelaku usaha di sektor beras.

Baca juga  Pemerintah Beri Bantuan Penempatan Kerja Pekerja Migran Indonesia di Malaysia

Langkah-langkah strategis yang dilakukan pemerintah tersebut merupakan bentuk perlindungan negara terhadap hajat hidup masyarakat, sejalan dengan arahan Presiden Prabowo Subianto yang menempatkan ketahanan pangan sebagai prioritas nasional. Praktik curang dalam distribusi pangan adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepentingan publik yang tidak bisa ditoleransi. Pemerintah menunjukkan bahwa negara hadir bukan hanya sebagai regulator, tetapi juga sebagai pengawas dan pelindung yang aktif dalam menjaga keadilan dan kepastian di sektor pangan.

Dengan adanya kebijakan standardisasi tunggal dan distribusi yang diawasi secara ketat, publik kini memiliki harapan baru atas transparansi dan keadilan dalam sistem perberasan nasional. Pemerintah juga membuka ruang partisipasi aktif masyarakat untuk turut mengawasi dan melaporkan jika ditemukan indikasi pelanggaran. Upaya ini tidak hanya menyasar pelaku curang, namun juga mendorong ekosistem usaha pangan yang sehat, berkeadilan, dan berkelanjutan.

Jika langkah ini dijalankan secara konsisten dan disertai dengan penegakan hukum yang tegas, maka kasus-kasus pengoplosan beras dapat ditekan secara signifikan. Indonesia dapat lebih percaya diri dalam membangun ketahanan pangan nasional yang kuat dan bermartabat, demi menjamin kesejahteraan seluruh rakyat.

*Penulis merupakan Jurnalis Ekonomi dan Pangan

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *