
Oleh : Naya Santika
Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan komitmen kuatnya dalam menjaga kesejahteraan para pekerja, salah satunya melalui program Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang telah digulirkan dengan anggaran besar dan jangkauan luas. Namun, lebih dari sekadar bantuan langsung tunai, pemerintah menekankan bahwa efektivitas program ini sangat bergantung pada cara pemanfaatannya di tangan para penerima. Narasi inilah yang diangkat langsung oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming saat meninjau proses penyaluran BSU di Kota Pekanbaru, Riau, pada 28 Juli 2025.
Dalam kunjungannya, Wapres menyampaikan apresiasi atas kelancaran pencairan BSU di wilayah tersebut. Ia memastikan bahwa hampir seluruh penerima bantuan di Pekanbaru telah mendapatkan haknya. Namun, ia tidak hanya datang untuk melihat proses administratif, melainkan juga menyampaikan pesan penting yang menyentuh esensi bantuan ini. Menurut Wapres, BSU harus digunakan secara bijak dan produktif oleh para pekerja. “Saya titip pesan kepada para penerima bantuan agar bantuannya digunakan untuk hal-hal yang produktif. Jangan dipakai untuk judol (judi online). Saya ingatkan berkali-kali itu,” tegas Gibran.
Pernyataan tersebut mencerminkan keprihatinan pemerintah terhadap fenomena penyalahgunaan bantuan sosial yang kerap terjadi di berbagai daerah. Bantuan yang seharusnya menjadi instrumen untuk memperkuat daya tahan ekonomi pekerja, justru kerap habis untuk konsumsi sesaat atau bahkan aktivitas ilegal. Padahal, dengan pengelolaan yang cermat, dana BSU sebesar Rp600 ribu yang diberikan bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok, biaya pendidikan anak, atau bahkan sebagai tambahan modal usaha kecil.
Pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan mencatat bahwa hingga akhir Juli 2025, sebanyak 14.715.000 pekerja di seluruh Indonesia telah menerima BSU. Di Provinsi Riau, sebanyak 368.000 pekerja telah tersalurkan bantuannya, termasuk 145.000 di Kota Pekanbaru. Capaian ini merupakan bukti kerja keras kolaboratif antara BPJS Ketenagakerjaan, PT Pos Indonesia, dan lembaga lainnya yang terlibat dalam pendistribusian bantuan. Wapres pun mengapresiasi kelancaran proses tersebut, yang dinilai mencerminkan sinergi yang baik antarinstansi.
Namun demikian, tantangan lain muncul dari sisi ketepatan sasaran. Dalam konferensi pers yang sama, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa pemerintah tetap mengalokasikan anggaran BSU sebesar Rp10,72 triliun untuk 17 juta pekerja di Indonesia. Ia menegaskan bahwa bantuan ini menyasar pekerja bergaji maksimal Rp3,5 juta per bulan, termasuk guru di bawah Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Kementerian Agama. “Subsidi atau bantuan Rp600 ribu untuk Juni dan Juli disalurkan kepada 17 juta pekerja dan buruh,” ujar Sri Mulyani.
Namun, data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan adanya hasil verifikasi yang mengungkap bahwa 1,35 juta penerima tidak memenuhi kriteria. Ada yang tidak lagi aktif bekerja, ada yang ternyata berstatus ASN, ada pula yang masuk dalam program bantuan lain seperti PKH. Hal ini menandakan bahwa pemerintah tidak hanya mengejar angka penyaluran semata, tetapi juga menjaga kualitas data agar bantuan benar-benar sampai kepada pihak yang berhak.
Ketelitian dalam proses verifikasi ini penting agar anggaran negara digunakan secara efisien dan tepat sasaran. Namun, upaya pemerintah tidak berhenti pada sekadar menyalurkan bantuan. Pemerintah juga bertanggung jawab dalam memastikan perubahan perilaku dan pola pikir masyarakat, khususnya dalam memanfaatkan bantuan yang diterima. Di sinilah pentingnya literasi keuangan dan pemberdayaan ekonomi.
BSU seharusnya dilihat bukan sebagai “hadiah” dari negara, tetapi sebagai bentuk stimulus untuk memperkuat daya tahan ekonomi pekerja. Dalam konteks ini, pemerintah telah menjalankan tanggung jawabnya dengan menyediakan fasilitas dan dana. Namun, keberhasilan akhir dari program ini akan sangat bergantung pada bagaimana masyarakat mengelola bantuan yang diterima. Oleh karena itu, edukasi tentang pengelolaan keuangan, literasi digital, serta pemberdayaan ekonomi mikro harus terus digalakkan secara paralel.
Pengalaman pandemi lalu telah memberikan pelajaran berharga bahwa ketahanan ekonomi bukan hanya dibangun dari atas, melainkan juga dari bawah. Para pekerja di sektor informal maupun formal memiliki peran penting dalam menjaga roda perekonomian tetap berputar. Bantuan seperti BSU bukan sekadar dana talangan sesaat, melainkan bisa menjadi pemicu keberlanjutan ekonomi keluarga jika dikelola dengan baik.
Langkah yang diambil Wakil Presiden Gibran dalam mengawasi langsung penyaluran BSU dan menyampaikan pesan moral kepada penerima mencerminkan paradigma baru dalam tata kelola bantuan sosial. Negara hadir tidak hanya sebagai pemberi, tetapi juga sebagai pendidik dan pengarah. Pesan ini harus sampai ke akar rumput dan menjadi kesadaran kolektif bahwa bantuan tidak akan mengubah nasib jika tidak disertai perubahan pola pikir.
Pemerintah juga diharapkan dapat memperkuat mekanisme evaluasi dan pengawasan, agar bantuan seperti BSU tidak hanya tersalur tepat sasaran, tetapi juga memberikan dampak positif jangka panjang bagi penerima. Penyaluran bantuan sosial seharusnya menjadi bagian dari upaya membangun masyarakat yang mandiri dan berdaya, bukan sekadar memperpanjang ketergantungan.
Dengan sinergi antara pemerintah, lembaga pelaksana, dan masyarakat penerima, BSU memiliki potensi besar untuk menjadi solusi jangka pendek dan jangka panjang dalam menjaga daya beli masyarakat, sekaligus mempercepat pemulihan ekonomi nasional. Pemanfaatan yang produktif, transparansi dalam penyaluran, serta peningkatan kapasitas penerima harus menjadi prinsip utama dalam implementasi program ini ke depan.
*Penulis adalah Pengamat Ekonomi