
Oleh: Aulia Sofyan Harahap )*
Pemerintah terus memperkuat langkah-langkah untuk memberantas praktik judi daring yang kini semakin mengkhawatirkan, terutama karena mulai menyasar kelompok usia muda, bahkan anak-anak. Di tengah kemajuan teknologi digital yang memudahkan akses informasi, muncul pula risiko penyalahgunaan, seperti judi daring, phishing, penipuan daring (scamming), dan pinjaman online ilegal.
Salah satu bentuk keseriusan pemerintah dalam menghadapi persoalan ini terlihat dari inisiatif edukatif yang dilakukan Bank Indonesia (BI). Melalui pameran bertajuk Bentengan atau “Bermain dan Telusuri Uang Lewat Cerita Anak”, BI mencoba menyentuh lapisan paling rentan terhadap penyalahgunaan digital, yaitu anak-anak. Pameran ini digelar di Museum Bank Indonesia mulai 15 Juli hingga 24 Agustus 2025.
Pameran ini tidak hanya menyampaikan pesan melalui gambar atau teks, tetapi disusun dengan pendekatan interaktif melalui permainan tradisional seperti enggrang dan bakiak, hingga permainan modern yang dikemas sarat nilai edukatif. Anak-anak diajak mengenali perjalanan sistem pembayaran dari masa barter, transaksi lewat kantor pos, hingga transformasi digital saat ini. Lewat pendekatan ini, BI berharap anak-anak lebih memahami konsep uang, transaksi, dan juga risiko yang menyertainya di era digital.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Jurnanto Hediawan, mengingatkan bahwa anak-anak sangat rentan terjebak dalam praktik kejahatan digital seperti phishing, pinjaman online ilegal, dan judi daring. Ia menegaskan bahwa kegiatan edukasi seperti ini sangat penting untuk membentengi anak-anak dari ancaman tersebut. Menurutnya, pameran ini juga bertujuan agar anak-anak tetap bermain, sebab bermain bukan hanya aktivitas menyenangkan, tetapi juga melatih integrasi sosial, koordinasi, dan kemampuan membangun jejaring.
BI meyakini bahwa literasi keuangan harus dimulai sejak dini, khususnya agar anak-anak memahami nilai uang dan penggunaannya secara bijak, serta mampu mengenali potensi kejahatan finansial digital. Terlebih, data yang dirilis Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan tren yang mengkhawatirkan: pada 2024, sebanyak 80 ribu anak usia 10 tahun tercatat telah terjerat judi daring. Sementara itu, di rentang usia 10 hingga 20 tahun, jumlahnya melonjak hingga 440 ribu orang.
Ketua Kurator Pameran Bentengan, Syefri Luwis, menyebut bahwa anak-anak memang menjadi mayoritas pengunjung Museum Bank Indonesia. Ia menyatakan bahwa pada hari-hari biasa, museum bisa menerima hingga 13 bus dari berbagai sekolah. Fakta ini menjadi alasan kuat bagi BI untuk fokus menyampaikan pesan edukatif kepada anak-anak melalui metode yang menarik dan menyenangkan.
Langkah edukatif yang dilakukan BI merupakan bagian dari upaya besar pemerintah dalam menekan praktik judi daring, yang tidak hanya menyasar anak-anak dan remaja, tetapi juga melibatkan kalangan dewasa. PPATK mencatat bahwa aktivitas judi daring bahkan telah merambah ke kalangan penerima bantuan sosial (bansos). Lembaga ini menemukan sebanyak 571 ribu rekening penerima bansos yang terindikasi terlibat dalam aktivitas judi daring, bahkan beberapa di antaranya terhubung dengan tindakan pidana korupsi dan pendanaan terorisme.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengonfirmasi bahwa rekening-rekening tersebut langsung diblokir, terutama setelah dilakukan verifikasi berdasarkan data nomor induk kependudukan (NIK). Ia menegaskan bahwa dana bantuan sosial tidak boleh digunakan untuk praktik menyimpang seperti judi daring. Meskipun begitu, proses verifikasi masih terus berlangsung, dan beberapa pemilik rekening yang sempat diblokir kini mulai mengurus pembukaan rekeningnya kembali ke bank setelah hasil verifikasi membuktikan tidak adanya penyalahgunaan.
Ivan juga menyampaikan bahwa data yang dipaparkan PPATK baru berasal dari satu bank saja, dan kemungkinan jumlah sebenarnya bisa lebih besar setelah proses verifikasi di bank-bank lain dilakukan. Ia menyebut bahwa dari hasil pencocokan NIK, ditemukan sejumlah penerima bansos yang tidak hanya bermain judi daring, tetapi juga terindikasi terlibat dalam tindak pidana korupsi dan pendanaan terorisme. Hal ini menunjukkan bahwa judi daring bukan sekadar pelanggaran hukum biasa, tetapi berpotensi terkait dengan kejahatan serius lainnya.
Berdasarkan analisis awal, nilai transaksi dari aktivitas judi daring yang dilakukan oleh para penerima bansos ini mendekati angka Rp1 triliun. Angka ini mencerminkan betapa seriusnya skala permasalahan yang dihadapi, sekaligus memperkuat urgensi bagi pemerintah dan lembaga terkait untuk terus memperketat pengawasan, termasuk melalui kerja sama lintas sektor.
Langkah strategis pemerintah dalam menghadapi persoalan ini menekankan dua pendekatan utama: edukatif dan represif. Melalui pendekatan edukatif seperti yang dilakukan BI, anak-anak dibekali pemahaman agar tidak mudah terjebak dalam perangkap digital. Sementara melalui pendekatan represif seperti pemblokiran rekening oleh PPATK, pemerintah menunjukkan ketegasan dalam menindak pelaku maupun pihak yang menyalahgunakan dana bantuan negara.
Kombinasi keduanya menjadi bukti bahwa pemerintah tidak tinggal diam menghadapi maraknya judi daring. Edukasi sejak dini serta penindakan tegas menjadi langkah integral dalam menyelamatkan generasi muda dan menjaga integritas sistem keuangan negara.
Dengan ancaman digital yang semakin kompleks, keterlibatan berbagai pihak, mulai dari lembaga keuangan, aparat penegak hukum, hingga institusi pendidikan, menjadi kunci keberhasilan dalam pemberantasan judi daring. Pemerintah berharap, langkah-langkah yang diambil saat ini bisa menekan pertumbuhan praktik judi daring, serta menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat
Pengamat Kebijakan Publik – Lembaga Kajian Kebijakan Publik Bentang Nusantara