
Oleh: Moudy Alfiani )*
Pemerintah terus menunjukkan komitmen serius dalam memberdayakan pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) melalui kebijakan strategis yang menggabungkan aspek sosial dan ekonomi. Salah satu inisiatif nyata tersebut tercermin dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini tidak hanya berperan sebagai intervensi gizi nasional, tetapi juga menjadi motor penggerak ekonomi rakyat melalui pelibatan aktif pengusaha mikro dalam rantai pasoknya.
Melalui Kementerian Koperasi dan UKM, pemerintah memfasilitasi sebanyak 18 pengusaha mikro yang telah melalui proses pendampingan dan kurasi intensif untuk masuk ke dalam ekosistem MBG. Para pelaku usaha ini difasilitasi dalam kegiatan bertajuk Temu Mitra: Perluasan Keterlibatan UMKM dalam Program MBG di Pondok Pesantren Yatim dan Dhuafa Alkasyaf, Cileunyi, Kabupaten Bandung. Dalam acara ini, mereka dipertemukan langsung dengan para Kepala Satuan Pelayanan dan Pemenuhan Gizi (SPPG) serta Kepala Yayasan Mitra Dapur SPPG di kawasan Bandung Raya.
Deputi Bidang Usaha Mikro Kementerian Koperasi dan UKM, Riza Damanik, menegaskan bahwa keberadaan UMKM memiliki posisi strategis dalam keberhasilan Program MBG, yakni sebagai bagian integral dari upaya mencetak generasi Indonesia yang sehat dan unggul. Melalui kerja sama ini, UMKM tidak hanya menjadi pelengkap, tetapi justru didorong sebagai tulang punggung dalam ekosistem MBG yang terdiri dari hulu, dapur, hingga hilir.
Riza mengatakan UMKM akan terlibat di tiga titik utama, yakni sebagai pemasok bahan baku (hulu), penyedia jasa boga di dapur SPPG (dapur), serta pengelola limbah makanan (hilir). Ini adalah peluang emas yang harus dimanfaatkan dengan menjaga kualitas produk dan meningkatkan manajemen usaha.
Kementerian juga menandatangani komitmen kemitraan antara kepala SPPG atau yayasan mitra dapur dengan UMKM supplier. Kemitraan ini bukan hanya berbentuk seremoni, melainkan strategi riil untuk membuka akses pasar bagi UMKM lokal, sehingga mereka bisa naik kelas dan mandiri secara ekonomi.
Dukungan kepada pelaku UMKM dalam konteks MBG tidak hanya bersifat simbolik. Pemerintah mengusung empat pilar utama dalam pemberdayaan, yakni peningkatan kapasitas manajemen usaha, fasilitasi akses permodalan dan pembiayaan, dukungan legalitas dan perlindungan usaha, serta peningkatan produktivitas melalui digitalisasi dan perluasan pasar.
Contoh keberhasilan dari model kemitraan ini dapat dilihat dari CV ST Jaya Mandiri, sebuah UMKM mitra dapur SPPG yang beroperasi di wilayah Bandung. Melalui kemitraan dengan SPPG, usaha ini mampu meningkatkan omzet hingga Rp1,8 miliar per tahun serta membuka lapangan kerja bagi lebih dari 15 ibu rumah tangga. Fakta ini membuktikan bahwa kolaborasi strategis antara UMKM dan MBG mampu menciptakan efek berantai dalam penguatan ekonomi lokal.
Di wilayah lain, seperti Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Sulawesi Utara, cerita sukses datang dari Jane Katang, pemilik usaha sembako Aiko Maju. Ia memanfaatkan pembiayaan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk memperbesar skala bisnisnya yang kini melayani 154 sekolah dengan total 2.400 siswa. Tantangan logistik di wilayah kepulauan pun dihadapi dengan strategi pasokan dari petani dan pasar lokal. Peran bank dalam pendampingan UMKM juga menjadi faktor kunci keberhasilan program ini.
Corporate Secretary BRI, Agustya Hendy Bernadi, menyebut bahwa dukungan kepada UMKM tidak sebatas pada pembiayaan. Pendampingan dan pelibatan aktif dalam program strategis nasional seperti MBG membuktikan bahwa UMKM memiliki kapasitas untuk menjawab tantangan, bahkan di wilayah dengan geografi menantang sekalipun.
Tak hanya memberdayakan pelaku usaha, pengembangan SPPG sebagai tulang punggung MBG juga berdampak besar pada penyerapan tenaga kerja. Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menjelaskan bahwa satu unit SPPG mampu menyerap rata-rata 50 tenaga kerja langsung serta melibatkan sedikitnya 15 pemasok bahan pangan. Saat ini, sebanyak 2.391 SPPG telah terbentuk di berbagai wilayah dan telah menyerap lebih dari 94.000 tenaga kerja, belum termasuk sektor hulu seperti petani dan peternak.
Di Tangerang Selatan misalnya, sebanyak 169 SPPG aktif beroperasi dan menerima alokasi anggaran hingga Rp10 miliar per unit per tahun. Dengan alokasi 85 persen dana untuk bahan baku lokal, potensi perputaran ekonomi mencapai hampir Rp2 triliun per tahun di satu daerah saja.
Skala nasional Program MBG juga tak kalah impresif. Hingga Agustus 2025, program ini telah menjangkau 7,5 juta penerima manfaat. Dadan menggambarkan bahwa jumlah ini setara dengan total penduduk aktif di negara seperti Singapura atau Brunei Darussalam. Namun, pemerintah tidak berhenti sampai di situ. Target 82,9 juta penerima manfaat masih menjadi tujuan besar yang akan memperluas rantai pasok dan membuka peluang ekonomi lebih luas lagi.
Bayangkan jika 82,9 juta siswa menerima makan bergizi setiap hari, maka kebutuhan akan bahan baku seperti telur, lele, dan sayuran akan melonjak signifikan. Potensi ini membuka lapangan pekerjaan baru sekaligus menggerakkan sektor pertanian dan perikanan lokal secara masif.
Kolaborasi antara kementerian, lembaga keuangan, dan pengusaha mikro menjadi fondasi utama dalam mengorkestrasi program MBG yang bukan hanya memberi makan, tetapi juga membuka harapan dan kesempatan. Pemerintah berharap akan lahir lebih banyak SPPG Ramah UMKM, dari desa hingga kota, yang dapat menguatkan ekonomi rakyat secara berkelanjutan.
Program MBG telah membuktikan bahwa kebijakan publik yang terintegrasi mampu menciptakan dampak ganda—peningkatan gizi masyarakat dan pertumbuhan ekonomi lokal. Dengan terus mendorong pelibatan UMKM dalam rantai pasok MBG, pemerintah secara nyata membangun fondasi ekonomi kerakyatan yang kuat dan inklusif. Di sinilah momentum bagi pengusaha mikro untuk naik kelas, dan bagi Indonesia untuk bergerak maju.
)* Pengamat Kebijakan Pemerintah