Bijak Rayakan Kemerdekaan RI, Mengibarkan Bendera Fiksi Bisa Kena Pidana

Oleh : Agusriansyah

Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia selalu menjadi momen sakral yang menyatukan seluruh elemen bangsa. Setiap tahunnya, rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke menyambut hari kemerdekaan dengan semangat nasionalisme yang membara. Bendera Merah Putih dikibarkan di rumah-rumah, gedung pemerintahan, hingga di pelosok pedalaman, sebagai wujud penghormatan terhadap perjuangan para pahlawan bangsa. Namun di tengah euforia perayaan ini, muncul fenomena yang meresahkan: pengibaran bendera fiksi seperti bendera anime One Piece. Aksi semacam ini tidak hanya menunjukkan ketidaktahuan terhadap aturan, tetapi juga bisa menjerumuskan masyarakat pada jeratan hukum pidana.

Pengibaran bendera fiksi dalam momen sakral kenegaraan tidak bisa dibenarkan atas nama ekspresi budaya pop. Dalam konteks negara, simbol-simbol seperti bendera Merah Putih memiliki kedudukan hukum yang tinggi, yang tidak bisa disejajarkan dengan simbol hiburan atau fantasi. Menurut pengamat kebijakan publik Riko Noviantoro, tindakan mengibarkan bendera fiksi, apalagi dalam konteks bersandingan atau bahkan lebih tinggi dari bendera negara, bisa dipandang sebagai bentuk penghinaan terhadap simbol negara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009.

Undang-undang tersebut secara jelas mengatur tata cara perlakuan terhadap Bendera Negara, termasuk aturan soal pengibaran bersama dengan lambang atau bendera lain. Dalam Pasal 21 disebutkan bahwa jika bendera Merah Putih dikibarkan bersama dengan bendera atau lambang lain, maka bendera negara harus berada pada posisi tertinggi dan memiliki ukuran paling besar. Ini bukan sekadar aturan teknis, melainkan bagian dari upaya menjaga kehormatan dan kedaulatan simbol negara. Bila aturan ini dilanggar, maka konsekuensinya tidak ringan.

Pasal 66 dari UU yang sama menegaskan bahwa setiap tindakan yang merusak, menginjak, membakar, atau merendahkan kehormatan bendera negara, termasuk tindakan yang bermaksud menghina, bisa dijerat pidana penjara hingga lima tahun atau denda setinggi setengah miliar rupiah. Artinya, perbuatan yang tampak sepele seperti mengibarkan bendera fiksi secara tidak tepat bisa berujung pada sanksi pidana jika dinilai sebagai tindakan penghinaan terhadap simbol negara.

Baca juga  Sinergi Pemerintah dan Aparat Keamanan Wujudkan Semua Titik Keramaian Kondusif Saat Idul Fitri

Lebih jauh, fenomena ini juga tidak bisa dilepaskan dari potensi adanya provokasi yang lebih luas. Wakil Ketua Fraksi Golkar di MPR, Firman Soebagyo, menggarisbawahi bahwa pengibaran bendera anime seperti One Piece dalam konteks peringatan hari nasional bisa ditafsirkan sebagai bentuk provokasi yang bertujuan menjatuhkan kewibawaan pemerintah. Bahkan, tindakan semacam itu bisa dianggap sebagai bagian dari makar jika motifnya terbukti mengarah pada upaya merusak kehormatan negara. Oleh sebab itu, penting bagi aparat penegak hukum untuk bersikap tegas terhadap segala bentuk aksi yang dapat mengganggu stabilitas nasional, terlebih dalam momentum penting seperti peringatan Hari Kemerdekaan.

Dalam situasi seperti ini, peran masyarakat sangat krusial. Edukasi mengenai simbol-simbol negara dan tata cara peringatan hari nasional harus terus disosialisasikan, terutama kepada generasi muda yang menjadi target utama budaya pop global. Mereka perlu memahami bahwa kecintaan terhadap budaya populer tidak boleh mengalahkan loyalitas terhadap negara. Masyarakat juga harus memahami bahwa merayakan kemerdekaan bukan semata-mata soal hura-hura atau ekspresi visual semata, melainkan juga wujud penghormatan terhadap sejarah panjang perjuangan bangsa.

Pemerintah pun sudah memberikan imbauan resmi agar masyarakat lebih bijak dalam merayakan HUT RI ke-80. Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyampaikan bahwa momentum kemerdekaan harus difokuskan pada pengibaran Bendera Merah Putih sebagai simbol utama peringatan nasional. Ia mengingatkan agar masyarakat tidak memasang simbol-simbol yang dapat menimbulkan salah tafsir atau gangguan dalam suasana perayaan. Menurutnya, suasana yang dibangun dalam peringatan kemerdekaan semestinya bersifat khidmat, nasionalistis, dan berakar pada nilai-nilai luhur bangsa.

Dalam perspektif ini, bijak dalam mengekspresikan semangat kemerdekaan menjadi kunci utama. Perlu ada keseimbangan antara kreativitas dan kepatuhan terhadap norma hukum. Bila masyarakat ingin mengekspresikan kecintaan terhadap karakter fiksi atau budaya pop, saluran yang tepat tentu tersedia dalam berbagai bentuk hiburan yang tidak melanggar aturan kenegaraan. Namun, saat menyangkut simbol-simbol negara, seperti bendera Merah Putih, maka seluruh warga negara wajib bersikap hormat dan bertanggung jawab.

Baca juga  Kinerja APBN Catatkan Surplus Rp 4,3 Triliun pada Akhir April 2025

Peringatan Hari Kemerdekaan adalah panggung persatuan nasional, bukan ruang untuk eksperimen identitas yang bisa memicu perpecahan atau kontroversi. Mengibarkan bendera fiksi dalam perayaan resmi negara tidak hanya tidak etis, tetapi juga bisa menjadi bentuk pelecehan simbol negara yang berakibat hukum. Oleh karena itu, sangat penting bagi seluruh elemen bangsa untuk memahami dan menaati peraturan yang berlaku, serta menjaga marwah kemerdekaan dengan cara-cara yang terhormat.

Masyarakat Indonesia sejatinya memiliki kebanggaan tersendiri terhadap simbol-simbol nasional. Merah Putih bukan hanya selembar kain dua warna, melainkan simbol perjuangan, pengorbanan, dan harga diri bangsa. Sudah sepatutnya dalam setiap momen perayaan kemerdekaan, seluruh komponen bangsa mengedepankan sikap hormat dan nasionalisme yang kuat. Jangan biarkan kelalaian atau ketidaktahuan menjadi celah bagi munculnya pelanggaran hukum dan potensi perpecahan. Bijaklah dalam merayakan kemerdekaan, karena kebebasan yang sejati adalah yang disertai dengan tanggung jawab terhadap negara dan bangsa.

*Penulis Adalah Pengamat Sosial Politik

About Author

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *