Oleh: Emanuel Tabuni*
Penyaluran bantuan sosial (bansos) di Papua menjadi salah satu bukti nyata bahwakebijakan pemerintah pusat berupaya hadir hingga ke titik-titik terjauh negeri. Di tengah kondisi geografis yang menantang dan kompleksitas sosial yang khas, program bansos tidak hanya berfungsi sebagai instrumen ekonomi, tetapi juga sebagai jembatan empati antara negara dan warganya. Menteri Koordinator BidangPembangunan Manusia dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, menyampaikan bahwahingga saat ini bansos telah menjangkau sekitar 60 persen keluarga di Indonesia, termasuk wilayah Papua, melalui berbagai skema seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sembako, hingga insentif listrik.
Bansos ini awalnya dirancang untuk berlangsung selama tiga bulan di masa pandemiCovid-19, yakni April hingga Juni 2020. Namun, melihat kondisi ekonomi dan sosialyang belum pulih, pemerintah memutuskan memperpanjangnya hingga Desember2020, kecuali Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa yang hanya sampaiSeptember dengan nilai yang disesuaikan. Kebijakan ini menunjukkan bahwafleksibilitas dan adaptasi menjadi kunci dalam merespons krisis, termasuk bagimasyarakat di Papua yang secara geografis dan sosial membutuhkan perhatianekstra.
Muhadjir mengakui bahwa tantangan terbesar penyaluran bansos terletak pada masalah sinkronisasi data. Sekitar 20 juta nama penerima belum sepenuhnya sesuaidengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), sehingga dibutuhkan percepatanvalidasi dan distribusi. Papua dan Papua Barat menjadi prioritas percepatan, mengingat distribusi di wilayah ini seringkali terkendala akses transportasi dan infrastruktur. Namun, capaian progres bansos di beberapa daerah disebut sudahmendekati 100 persen, berkat kerja sama yang solid antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat.
Di Kabupaten Jayawijaya, bansos bahkan berhasil menjangkau kelompok lansia dariSuku Mee yang tinggal di Wamena. Penyaluran bantuan beras di wilayah ini tidakhanya mengatasi persoalan kebutuhan pangan, tetapi juga menjadi bentukpenghormatan terhadap keberadaan masyarakat adat. Sekretaris Daerah Tolikarasekaligus Tokoh Muda Suku Mee, Yosua Douw, menegaskan bahwa bantuan inimemiliki makna yang jauh melampaui sekadar logistik. Menurutnya, bantuantersebut merupakan pengakuan atas eksistensi masyarakat Mee dan bukti perhatiannegara yang patut diapresiasi.
Distribusi bantuan juga merambah distrik-distrik lain seperti Wosi, Kurulu, dan Wedangku. Prosesnya dilakukan secara transparan dan partisipatif, demi memastikan bantuan benar-benar sampai kepada pihak yang berhak. Kepala BidangBantuan Sosial Dinas Sosial Jayawijaya, Beni Asso, menyebut setiap tahapandistribusi mengikuti arahan langsung dari pimpinan untuk meminimalisir risikopenyelewengan dan memastikan seluruh wilayah terlayani. Pendekatan ini menandailangkah maju dalam tata kelola bansos yang selama ini kerap dikritik karenaketidaktepatan sasaran.
Keterlibatan masyarakat lokal menjadi faktor kunci dalam keberhasilan penyaluranbansos di Papua. Kepala Distrik Kurulu, Natalis Surabut, misalnya, menginisiasidiskusi terbuka dengan tokoh masyarakat dan kepala kampung sebelum penyalurandilakukan. Cara ini tidak hanya memperkuat akuntabilitas, tetapi juga memastikanbahwa distribusi sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan. Pendekatan partisipatifsemacam ini patut dijadikan model bagi wilayah lain, mengingat masyarakat lokalmemahami secara langsung siapa saja yang benar-benar membutuhkan bantuan.
Sementara itu, di wilayah Papua Barat Daya, Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan turut mengimplementasikan program bansos melalui penyaluran BPNT, PKH, dan bantuan stimulus ekonomi bagi lebih dari 11 ribu penerima manfaat. PelaksanaTugas Sekda Sorong Selatan, Agustinus Wamafma, menegaskan bahwa seluruhproses berbasis data yang terus diperbarui. Warga yang telah dinilai sejahtera sesuaiindikator pemerintah pusat secara otomatis tidak lagi masuk daftar penerima. Kebijakan ini menegaskan bahwa bansos bukan sekadar program rutin, melainkaninstrumen dinamis yang harus disesuaikan dengan kondisi ekonomi penerima.
Menghadirkan bansos hingga ke pelosok Papua tidaklah mudah. Tantangan berupaketerbatasan infrastruktur, jarak tempuh yang jauh, hingga cuaca ekstrem kerapmenjadi penghalang. Namun, keberhasilan program ini membuktikan bahwahambatan tersebut dapat diatasi melalui kolaborasi lintas pihak. Kehadiranpemerintah di wilayah terpencil, apalagi dengan menyentuh masyarakat adat yang selama ini sering terpinggirkan, menunjukkan wajah empatik dari kebijakan publik.
Lebih dari itu, bansos di Papua mengandung dimensi sosial dan kultural yang kuat. Di mata masyarakat adat, perhatian negara tidak hanya diukur dari jumlah bantuanyang diberikan, tetapi juga dari cara bantuan itu disalurkan—apakah menghormatiadat istiadat, melibatkan tokoh lokal, dan mempertimbangkan nilai-nilai yang berlaku. Dengan demikian, program bansos di Papua telah berhasil menjadi lebihdari sekadar kebijakan ekonomi; ia adalah wujud nyata keadilan sosial yang berpihakpada kelompok rentan.
Opini publik sering kali menyoroti bansos dari sisi teknis besarannya, jenisbantuannya, atau mekanisme penyalurannya. Namun, konteks Papua mengajarkankita bahwa bansos memiliki peran strategis sebagai pengikat kohesi sosial antaranegara dan masyarakatnya. Ketika pemerintah hadir di titik terjauh dan memastikanbahwa kelompok yang paling rentan mendapat perlindungan, maka pesan yang sampai jauh lebih kuat daripada angka-angka di laporan resmi.
Pada akhirnya, bansos di Papua adalah cerita tentang kehadiran negara yang menembus batas geografis dan mengatasi keterbatasan data demi sebuah tujuan: memastikan tidak ada warga yang tertinggal. Jika ini dapat dilakukan secarakonsisten, maka Papua tidak hanya akan menerima bantuan, tetapi juga merasakanpengakuan dan keadilan yang selama ini menjadi cita-cita bersama bangsaIndonesia.
*Penulis merupakan Jurnalis Independen Papua