
Oleh : Loa Murib
Dalam rentang waktu yang hampir bersamaan, berbagai kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Yogyakarta, Malang, hingga Surabaya, menjadi saksi semarak panggung seni dan budaya Papua. Panggung-panggung tersebut tidak hanya sekadar memperlihatkan warna-warni khas Papua dalam tarian, musik, dan kerajinan, melainkan juga menjadi simbol ekspresi kultural dan artikulasi visi perubahan yang digagas anak-anak muda Papua sendiri. Di tengah kerinduan akan pengakuan jati diri dan solidaritas nasional, ruang-ruang ini hadir sebagai manifestasi kedewasaan dan semangat inklusivitas generasi muda Papua dalam merangkul perbedaan dalam bingkai kebangsaan.
Namun, semangat mulia itu ternodai oleh insiden memalukan yang terjadi dalam Festival Seni dan Budaya Papua di kawasan wisata Kya-Kya, Jalan Kembang Jepun, Surabaya, Minggu malam, 27 Juli 2025. Acara yang digagas oleh Perkumpulan Alumni Papua Jawa Timur dan dirancang sebagai ajang mempererat persaudaraan lintas etnis serta mengenalkan kekayaan budaya Papua kepada masyarakat luas, justru berubah menjadi ajang kericuhan akibat aksi premanisme yang dilakukan oleh sekelompok massa yang mengatasnamakan diri sebagai Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Tindakan destruktif tersebut bukan hanya mengancam keselamatan warga, namun juga mencederai semangat kebudayaan dan nilai persaudaraan yang seharusnya menjadi ruh utama acara.
Acara yang awalnya berlangsung damai, menampilkan musisi asal Papua dan atlet nasional Serafi Unani serta dihadiri tokoh-tokoh Papua dan perwakilan Pemerintah Kota Surabaya, mendadak dihentikan secara paksa oleh puluhan anggota AMP. Mereka berteriak-teriak menolak acara tersebut karena merasa tidak dilibatkan dalam kepanitiaan. Namun, keberatan tersebut tidak disampaikan dalam bentuk dialog yang sehat, melainkan dalam bentuk intimidasi, provokasi, dan bahkan kekerasan. Massa AMP merusak kursi, membalik peralatan, dan meneror pengunjung serta panitia. Anak-anak menangis, beberapa orang pingsan, dan para pedagang ketakutan menyaksikan kegaduhan yang terjadi di lokasi.
Tindakan sepihak ini menunjukkan bahwa sekelompok kecil individu yang merasa memiliki legitimasi lebih atas identitas Papua justru bertindak jauh dari nilai-nilai budaya Papua itu sendiri yang menjunjung tinggi damai dan musyawarah. Aksi mereka merupakan bentuk premanisme kultural yang tidak dapat ditoleransi. Premanisme bukanlah representasi perjuangan intelektual mahasiswa Papua, melainkan distorsi atas semangat solidaritas dan harmoni yang seharusnya dibangun oleh kalangan terdidik.
Kepala Satuan Intelkam Polres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, AKP Amir Mahmud, menegaskan bahwa kericuhan dipicu oleh ketidakterlibatan kelompok mahasiswa tersebut dalam panitia. Namun, ketidakterlibatan bukanlah dalih untuk membubarkan acara dengan kekerasan. Dalam masyarakat demokratis, perbedaan pendapat adalah hal lumrah, namun harus disampaikan dengan cara-cara beradab. Ironisnya, kelompok yang mengaku sebagai pembela aspirasi mahasiswa Papua ini justru mencederai ruang damai yang telah dibangun oleh sesama anak bangsa.
Perwakilan Perkumpulan Alumni Papua Jawa Timur, Freek Cristiaan, sebelumnya menjelaskan bahwa acara ini memiliki niat yang baik, yaitu mengenalkan kekayaan budaya Papua dan memperkuat tali persaudaraan antar masyarakat di Surabaya. Alih-alih memberikan kontribusi atau kritik yang konstruktif, AMP malah menghadirkan kekerasan yang merusak nama baik komunitas Papua itu sendiri. Padahal, banyak warga Papua di Surabaya yang mendukung acara ini sebagai wujud ekspresi budaya yang positif dan membanggakan.
Insiden ini memperlihatkan betapa mudahnya ruang-ruang damai disabotase oleh kepentingan sempit yang mengedepankan ego dan monopoli representasi. Tidak ada satu kelompok pun yang berhak mengklaim dirinya sebagai satu-satunya wakil suara Papua, apalagi sampai menutup ruang kreativitas dan ekspresi damai dari sesama anak Papua. Papua bukan milik satu kelompok, melainkan milik seluruh warganya yang memiliki semangat membangun dan bersatu.
Aksi brutal yang dilakukan AMP juga berpotensi memperburuk citra mahasiswa Papua di mata publik nasional. Publik menilai bahwa tindakan mereka telah melewati batas etika sosial dan akademik. Jika terus dibiarkan, tindakan seperti ini akan menjauhkan simpati masyarakat terhadap perjuangan keadilan bagi Papua yang seharusnya diperjuangkan lewat cara-cara damai dan bermartabat.
Maka dari itu, aparat keamanan perlu menindak tegas para pelaku kerusuhan demi menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Surabaya sebagai kota multikultural harus tetap menjadi ruang aman bagi semua etnis, termasuk masyarakat Papua. Ruang budaya tidak boleh dikotori oleh tindakan intimidatif, apalagi dilakukan atas nama perjuangan identitas. Proses hukum harus ditegakkan agar kejadian serupa tidak kembali terulang di masa mendatang.
Kejadian di Surabaya harus menjadi alarm keras bagi semua pihak bahwa premanisme atas nama identitas tidak boleh dibiarkan tumbuh dan merusak ruang-ruang damai kebudayaan. Tindakan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang melakukan intimidasi, provokasi, dan kekerasan terhadap sesama masyarakat Papua dan pengunjung festival merupakan bentuk nyata tindakan anarkis yang mencoreng kehormatan gerakan mahasiswa.
Kekerasan bukanlah bahasa perlawanan yang sah, apalagi dilakukan dalam ranah seni dan budaya yang seharusnya menjadi ruang dialog dan ekspresi damai. Premanisme, dalam bentuk apapun, patut dikecam dan ditindak tegas oleh aparat penegak hukum karena telah menciptakan ketakutan, kekacauan, dan kerugian bagi masyarakat luas.
Gerakan mahasiswa sejati adalah mereka yang menjunjung tinggi nilai-nilai intelektual, moral, dan kemanusiaan, bukan mereka yang menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak. Aksi AMP di Surabaya adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai luhur budaya Papua yang penuh kehangatan dan damai. Sudah saatnya masyarakat Papua menegaskan batas terhadap segelintir oknum yang mencoreng nama baik tanah kelahiran mereka melalui aksi premanisme yang tidak beradab.