Oleh : Puspita Arumdala)*
Upaya penegakan hukum terhadap perusakan lingkungan terus digencarkan pemerintah. Dalam kurun waktu Mei hingga Juli 2025, lebih dari 3.000 hektare lahan sawit ilegal berhasil ditertibkan dari kawasan konservasi dan hutan lindung di sejumlah wilayah Indonesia. Langkah ini tidak hanya menjadi bukti ketegasan negara dalam menjaga hutan, tetapi juga menandai komitmen kuat untuk menyelamatkan habitat satwa langka serta memulihkan fungsi ekologis hutan tropis.
Salah satu fokus utama penertiban terjadi di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Riau. Kawasan konservasi yang selama ini menjadi rumah bagi gajah dan harimau Sumatera itu mengalami tekanan hebat akibat perambahan dan alih fungsi lahan menjadi kebun kelapa sawit. Dalam waktu tiga bulan, Kementerian Kehutanan bersama Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) memusnahkan lebih dari 775 hektare kebun sawit ilegal. Pemusnahan ini dilakukan di dua titik besar, masing-masing seluas 401 hektare pada 29 Juni dan 311 hektare pada 2 Juli 2025.
Sekretaris Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kehutanan, Lukita Awang Nistyantara, menegaskan bahwa strategi pemerintah tidak hanya menitikberatkan pada penindakan, tetapi juga pendekatan pencegahan. Patroli intensif dilakukan di 993 titik lokasi rawan kebakaran hutan, dengan melibatkan peran aktif masyarakat melalui program Manggala Agni Pendamping Desa. Pemerintah juga mendorong pemanfaatan dana desa untuk kegiatan pencegahan kebakaran sebagai langkah antisipatif di musim kemarau.
Pemerintah turut menyiapkan lahan relokasi bagi masyarakat yang sebelumnya membuka lahan secara ilegal di kawasan TNTN. Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni menyampaikan bahwa relokasi ini merupakan bagian dari skema rehabilitasi kawasan konservasi, yang pelaksanaannya dikawal oleh Tim Percepatan Pemulihan Pasca Penguasaan (TP4) bentukan Gubernur Riau. Sejumlah warga bahkan telah secara sukarela menyerahkan lahan mereka kepada pemerintah, sebagai bentuk dukungan terhadap langkah konservasi yang lebih berkelanjutan.
Sementara itu, penertiban kebun sawit ilegal juga dilakukan di Taman Hutan Raya (Tahura) Isen Mulang Sebangau Berkah, Kalimantan Tengah. Pada 25 Juli 2025, Satgas PKH menindak lahan seluas lebih dari 2.300 hektare yang diduga kuat dikelola oleh perusahaan sawit secara ilegal. Di empat titik lokasi, tim gabungan yang terdiri dari unsur kejaksaan, TNI, dan BKSDA melakukan pemasangan plang larangan sebagai tanda kawasan tersebut tidak boleh lagi dimanfaatkan tanpa izin sah.
Kepala Seksi Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Pulang Pisau, Agustinus Gabriel Rante Ubleeuw, menjelaskan bahwa penertiban ini dilakukan sebagai bagian dari implementasi Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Ia menekankan bahwa setiap aktivitas di atas lahan tersebut dilarang keras, dan akan ditindak jika terbukti melanggar hukum. Langkah ini dinilai penting untuk memulihkan aset negara dan mengembalikan fungsi kawasan hutan bagi kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Dalam skala nasional, Direktorat Jenderal Gakkumhut juga mencatat sejumlah capaian penting. Dalam tiga bulan terakhir, mereka berhasil menindaklanjuti 210 pengaduan masyarakat, membawa 19 kasus pidana kehutanan ke tahap P21, serta melakukan lebih dari 940 operasi pengendalian kebakaran hutan. Selain itu, 804 posko desa juga dibentuk sebagai bagian dari patroli pencegahan karhutla, bekerja sama dengan TNI, Polri, dan masyarakat peduli api.
Langkah tegas juga dilakukan oleh aparat kepolisian daerah. Di Rokan Hulu, Riau, Polda Riau melalui Direktorat Reserse Kriminal Khusus berhasil mengungkap praktik perambahan hutan produksi terbatas seluas 143 hektare yang dilakukan oleh dua pelaku berinisial Z dan S. Keduanya membuka lahan dengan cara membakar dan mendirikan kebun sawit ilegal, dengan sistem bagi hasil. Dari tangan mereka, polisi menyita satu alat berat, mesin chainsaw, serta dokumen penting terkait lahan. Saat ini, mereka dijerat dengan Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Pencegahan serta Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan ancaman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda miliaran rupiah.
Direktur Reskrimsus Polda Riau, Kombes Pol Ade Kuncoro, menyatakan bahwa kasus ini bukanlah yang pertama, dan pihaknya tengah menangani 27 laporan serupa dengan 24 tersangka dan luas lahan mencapai 2.225 hektare. Ia menegaskan bahwa pihaknya akan terus menindak tegas para pelaku yang terlibat dalam praktik pembukaan lahan ilegal.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak tinggal diam terhadap ancaman serius yang dihadapi hutan Indonesia. Dengan kombinasi penindakan hukum yang kuat, pemulihan ekosistem, pendekatan sosial terhadap masyarakat terdampak, serta edukasi dan pemberdayaan komunitas lokal, Indonesia berupaya menjaga kelestarian lingkungan hidup sebagai warisan bagi generasi mendatang.
Penegakan hukum terhadap perusakan hutan bukan hanya soal menghentikan kebun sawit ilegal, tetapi juga menyangkut kelangsungan hidup satwa langka, ketahanan iklim, hingga martabat negara sebagai pemilik salah satu hutan hujan tropis terbesar di dunia. Melalui kolaborasi berbagai instansi dan ketegasan yang terus dikedepankan, harapan terhadap masa depan hutan Indonesia kini kembali tumbuh.
)* Pengamat Ekologi